This article was written after a Google Hangout between Made Bayak and Savitri Sastrawan on 6 May 2015. This conversation, translated to Bahasa Indonesia here, discusses his ongoing project and movement Plasticology in his native Bali, and is part of the Artist-Writer Pair Series. Read the English version in BrackMag Issue 1.
Berbincang Bersama Seniman Bali Made Bayak Muliana
(I)
Pada tahun 2002, saat Made Bayak di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar (semasa dia disana masih STSI), bereksperimen dalam berkarya telah mulai dilakukan. Pada kelas Eksperimen Kreatif, ia membuat karya instalasi yang diletakkan outdoor (diluar) mengangkat masalah jaman plastik. Ia berikan judulnya
Plastilitikum, lanjutan dari jaman batu Neolitikum dan Paleolitikum. Sampai lulus kuliah, berkarya menggunakan objek-objek readymade ada namun belum didalami. Cara berkarya ini ternyata menjadi inspirasi di kemudian hari.
“Tetap menjaga eksperimen tanpa mematok apa yang laku secara pasar. Saya lebih memilih berangkat membuat dengan gagasan. Misalnya sebuah ide presentasi video, saya coba video art. Happening art lebih kena, coba buat happening art.”
Bayak memulai berkarya seperti sekarang sejak pameran visual art-nya di Hotel Santrian, Bali. Pameran tersebut mengangkat persoalan pariwisata Bali yang sudah kompleks, yang memberatkan sumber daya alam dan budaya lokal Hindu di Bali. Sentimen ini datang dari penduduknya yang berjumlah 3,2 juta jiwa, dan pengunjungnya (2 juta) per tahun.
Untuk Bayak, tragedi 1965* di Indonesia menjadi titik awal industri pariwisata massal dimana Bali menjadi proyek percontohan, semacam museum hidup. Bayak membeli beberapa lukisan dari Pasar Sukawati – pasar yang terkenal dengan karya seni dan kerajinan yang terjangkau harganya. Lukisan-lukisan tersebut di-edit.
“Seniman kebanjiran order, mereka mencari artisan. Lukisan-lukisan yang dibeli di Sukawati, nama yang membuat masih saya biarkan dengan ide [menunjukkan] tentang pariwisata yang massal di Bali.”
Sejak Bali dinamakan “Pulau Dewata”, problema yang paling terasa adalah masalah lingkungan. Misalnya, setiap tahun, 700 hektar tanah diubah menjadi hotel, perumahan mewah untuk orang asing yang kaya, atau pembangunan jalan. Undang-undang perlindugan lingkungan hidup – untuk “menyangga budaya” misalnya, dalam mencegah hotel-hotel mewah mengambil alih jumlah Pura di Bali – tidak efektif.
Sampah pun menjadi isu yang sangat disayangkan, terutama karena manajemen yang kurang baik dari pemerintah maupun dari masyarakatnya sendiri. Pada diskusi yang dilaksanakan saat pamerannya di Santrian, salah satu peserta bertanya: “Apa yang bisa dilakukan seni?”
Dari sini Bayak ingin melakukan sesuatu.
(II)
“Sehari-hari beli sedikit dapat [kantong] plastik. Saya jadikan karya seni, tidak dikasi gambar pun sudah ada pesannya.”
Eksperimen-eksperimen menggunakan sampah-sampah tidak bisa dihindari Bayak.
Tumbuh besar dengan gambar-gambar ikon Bali seperti penari Legong, gadis Bali telanjang, mahluk mitologi – ia membuat stensil gambar-gambar tersebut lalu disemprot di atas plastik-plastik yang berlapis.
“Saya juga senang dan melakukan street art. Pilihan propaganda hitam putih sangat subversif – stensilan berkesan rebel, revolt, perlawanan. Ini perubahan modernisme konsumerisme yang terjadi disini. Ini bisa dilihat pertama secara artistik, lalu bisa ke pemikiran-pemikiran lain seperti secara lingkungan, budaya, pariwisata, semua bisa masuk.”
Bayak lama me-review, refleksi diri kenapa memilih tema projek utama tentang sampah. Ia diingatkan lagi dengan pengalamannya dikenakan sampah ke mukanya berkat pembuangan sampah secara sembarangan dari sebuah jendela mobil mewah ketika naik motor di Batubulan, desa tradisional di Bali. Pengalaman tersebut membuatnya berpikir: kalau kebanyakan orang berperilaku seperti ini, tempat ini akan penuh dengan sampah.
Sejalan waktu, ia terlibat di beberapa komunitas bekerja bersama anak-anak maka cara kerjanya tidak lagi projek pribadi dan pameran sendiri. Saat itu, trash art sudah eksis banyak digunakan termasuk dalam tag (#) searching di internet. Maka Bayak ingin membuat nama yang mudah tetapi membuat orang penasaran saat mendengarnya. Dari sini, Plasticology lahir – mengkombinasi kata plastik dan ecology. Ia berbagi tentang Plasticology dengan komunitas-komunitas, sekolah-sekolah, workshop-workshop yang dimana dia diundang ataupun dengan dana sendiri dan kerjasama.
“Ini menjadi tanggung jawab moral saya sendiri. Saya sadar seni bisa menjadi solusi walaupun kecil sekali, pastinya dia bisa menjadi pendidikan. Ini menjadi komitmen, saya pupuk, tanam, sirami di dalam sendiri. Mengenalkan Plasticology sendiri merupakan gerakan seniman sebagai pengajar, karena di sekolah tidak ada kurikulumnya.”
Sejak itu energi Bayak dituangkan ke projek ini. Ia menyadari betul bahwa efek atau penerimaan projek ini sebagai “penyadaran diri” tidak cepat dan mudah. Namun melihat adanya 2 dari 10 peserta workshop mengerti dan ingin berbuat sesuatu walaupun tidak lewat seni, sudah menunjukan bahwa projek ini membuahkan hasil.
Bayak sempat bertemu dengan pejabat pemerintah, tetapi ia tidak menaruh harapan kepada mereka pula. Dengan adanya berbagai media online, social media, media nasional yang telah meliput, diharap pesannya sampai.
“Kalau ada kesempatan nyantol di kepala mereka, itu baik. Nggak, juga nggak apa-apa.”
Happening atau performance art juga menjadi cara Bayak mengaplikasikan praktek socially engaged art atau seni masyarakat-nya. Pada Bali Tolak Reklamasi Art Event (acara dalam rangka gerakan Bali Tolak Reklamasi Tanjung Benoa Berkedok Revitalisasi), Bayak perform dengan dirinya berbusana tradisional Bali yang lengkap diurug atau ditanam pasir dengan ekskavator. Idenya adalah melihat situasi bagaimana pengapnya Bali nanti. Pesannya terasa karena membuat beberapa penonton dan seniman khawatir akan keselamatannya. Karya ini dilakukan untuk melihat apa yang akan terjadi jika reklamasi Tanjung Benoa dilaksanakan. Dia tidak memikirkan keselamatannya. Ia ingin menunjukan esensi melakukan kesenian dengan jujur, kesenian yang datang dari hati bisa sampai. Di momen itu Bayak merasakan prinsip Hindu ngayah terjadi, berbakti tanpa pamrih di saat upacara-upacara ke-agamaan dan keseharian. Dari dokumentasi acara itu, ia ingin membuat karya stop motion agar bisa ditonton terus.
Happening art yang ia lakukan secara improvisasi adalah Holy Rolling Trash di Sanur Village Festival, Bali. Ia diminta untuk melaksanakan Plasticology workshop, namun setelah survey tempat acaranya, lokasi tidak memungkinkan. Sampah berserakan dimana-mana dilihatnya, yang mengagetkan adalah bagaimana orang-orang bisa makan di dekat sampah di festival yang dikenal tidak murah itu. Bayak lalu berbincang dengan para pengunjung.
“Saya tanya, ‘Pak, kenapa tidak buang sampah di tempat yang benar?’ Jawabannya, ‘Nggak apa-apa toh, nanti ada yang ngebersihin.’ Disana saya terinspirasi. Saya berteriak tanpa suara, teriak lewat happening art itu. Saya buat kayak bola salju, saya mainkan dengan teman-teman. Bola itu membesar, terlihat dampaknya, semoga mereka akan sadar.”
Seniman Irwan Ahmett dari Jakarta juga pernah melakukan hal serupa dibantu dengan pengumpulan biaya dan menyebut yang dilakukannya post-graffiti. Walaupun Bayak tidak mengelak gaya post-graffiti, Bayak kira apapun idenya akan menemui bentuknya sendiri. Selama ia bisa menampilkan dan merepresentasikannya, apa pun style-nya, untuk memikirkan istilah bisa memusingkannya. Walaupun demikian, Bayak mengharapkan gerakan seni seperti ini berkembang di Bali. Seni tidak seharusnya masih eksklusif – seni seharusnya tidak lagi hanya menjual mengikuti tren dan menjadi yang paling laris. Ia berharap ia terus bisa berkarya.
(III)
“Banyak yang bertanya mengapa program saya dengan sekolah internasional daripada sekolah lokal. Namun faktanya sekolah internasional lebih apresiatif dan terbuka dibanding sekolah lokal. Tetapi dengan sekolah internasional, biasanya cross-funded dengan komunitas lokal. Untuk sekolah lokal, mereka kesulitan untuk memasukan ke kurikulum apa. Banyak yang belum menangkap apa yang bisa didapatkan dari berbagi ilmu dengan anak-anak.”
Telah diliput media nasional seperti Kompas TV dan Net TV, diundang oleh @america, Jakarta, komitmen Bayak terhadap Plasticology sudah diperlihatkan. Namun, Bayak tetap fokus mengenalkannya secara lokal. Sekolah internasional dan local telah mengundangnya, tetapi keduanya memiliki pandangan yang berbeda. Pada workshop dengan beberapa SMA di Denpasar yang diadakan di Art Centre, terdapat guru yang sangat tertarik dengan Plasticology. Bayak nantinya di mention lewat Twitter dan dinyatakan bahwa projeknya akan di lanjutkan oleh guru tersebut. Adapun yang hasil workshopnya di pamerkan di alun-alun Denpasar. Bayak menganggap ini tanggapan yang baik dan ia berharap untuk terus meneruskannya.
“Plasticology tidak berhenti pada produksi karya dan pameran saja. Plasticology terus dibagi ke sekolah-sekolah dan komunitas-komunitas di Bali melalui presentasi dan workshop.”
*Catatan Editor: Pembunuhan di Indonesia tahun 1965-66 adalah gerakan anti-komunis yang diketahui sebagai G30S atau Gestok (Gerakan September Tigapuluh).
Diperkirakan ada 500,000-100,000,000 jiwa meninggal, dan menjadi kejadian yang kelam serta mendapatkan pandangan yang pecah dalam memori Indonesia sendiri.